Skip to main content

Sustainable Greeting: Giu, Srikandi Wild Water Indonesia dari Negeri Yang Jauh


Melalui caranya sendiri dan tidak diketahui oleh banyak orang, dia telah menjadi bagian dari usaha mulia mahaga petak danum (menjaga tanah air) yang dilakukan oleh ribuan relawan Wild Water Indonesia lainnya. Menuliskan sosok seorang perempuan muda penuh semangat dan bertabur talenta ini sejujurnya tidaklah mudah sama sekali. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam lima bulan terakhir sejak pertemuan pertama dengannya di sebuah desa kecil di puncak gunung di Pulau Sumbawa, Mantar. Saya merasa memiliki banyak keterbatasan untuk menuliskan dengan baik betapa begitu banyak sumbangan kebaikan yang dia lakukan kepada saya dan juga kepada jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia. Tetapi saya kemudian memutuskan tidak ingin takut menuliskannya, meski akan sangat sulit menjadi sempurna dan dapat merangkum semuanya, tetapi semoga setidaknya dapat menggambarkan sumbangan positif yang telah dia lakukan untuk jaringan kepedulian perairan ini. Sebuah jaringan kepedulian perairan Indonesia yang sebenarnya tidak ada sangkut paut dengan kehidupannya selama ini. Melalui berbagai cara yang dia bisa lakukan, di tengah kesibukannya menjalani ataupun menyelesaikan tanggung jawabnya di negeri ini, sebuah negeri carut marut yang begitu jauh dari rumahnya, Swiss. Sebuah surga kecil di tengah benua biru, Eropa. Saya tiba pada pemikiran, bahwa ketika mereka yang abai dengan masa depan perairan Indonesia ini begitu banyaknya, dia yang berasal dari negeri yang jauh malah menyingsingkan lengan baju dengan ikhlas!

Suatu hari di penghujung bulan April menjelang pukul tiga sore di lapangan di tengah Desa Mantar, Sumbawa Barat pada hari itu telah dipenuhi oleh masyarakat desa yang ingin menyaksikan sebuah acara dadakan bernama balapan ayam (chicken race). Salah satu kegiatan masyarakat Mantar yang telah menjadi tradisi dan kini oleh berbagai pihak sedang diplot untuk dijadikan atraksi yang mampu menarik wisatawan ke desa terpencil ini. Saya dan sebuah tim program petualangan dari sebuah televisi asal Jakarta, dimana saya telah bekerja selama tujuh tahun setidaknya hingga tiga bulan yang lalu telah bersiap dan kemudian sibuk mengabadikan kegiatan masyarakat pedesaan yang unik tersebut. Memang jika hanya dilihat dari satu sisi, kegiatan ini terkesan sebagai sebuah ekploitasi terhadap binatang (ayam). Tetapi jika kita telaah lebih jauh sebenarnya banyak dimensi yang dilebur dalam kegiatan ini misalnya saja menyatunya dan hangatnya kembali ikatan sosial masyarakat usai hari-hari yang melelahkan di pegunungan, dan lain sebagainya. Konon di masa lalu kegiatan ini penuh nuansa magic, tetapi kini hal itu menurut masyarakat sudah sangat jauh berkurang dan berubah menjadi sarana hiburan semata. Tidak mudah sebenarnya mengumpulkan masyarakat demikian banyaknya padahal kita baru tiba beberapa jam sebelumnya, tetapi sepertinya Tuhan selalu membuka jalan bagi saya dan tim terutama saking banyaknya para sahabat di Sumbawa yang sehari sebelumnya rela naik ke pegunungan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan tokoh masyarakat terkait menggelar balapan ayam tersebut. Di tengah kesibukan bekerja itulah sekilas mata tertuju pada kehadiran sesosok perempuan dari negeri yang jauh, (saya mengenalinya dari warna kulit, rambut dan bahasanya), seorang perempuan yang pada sore hari itu, di antara teriakan kumpulan manusia dan juga ayam-ayam yang berlari adu cepat tanpa mereka mengerti untuk apa, tetap tidak saya tahu siapa namanya.

Senja menjelang, balapan ayam telah usai, dan kumpulan manusia juga telah bubar kembali ke rumah masing-masing, akan tetapi sekelompok manusia lainnya, saya dan tim dari Jakarta dan sekelompok pemuda desa kemudian bergerak ke sunset point di pinggiran desa yang juga merupakan titik tolak paralayang yang ada di desa ini. Angin yang bertiup kencang dan juga hawa dingin pegunungan tidak menggoyahkan semangat kami untuk menikmati keindahan lukisan Sang Pencipta di langit. Memang indah! Kebetulan juga kami dianugerahi dengan cuaca yang bersahabat. Dan tetiba terasa di kalbu, di depan kemegahan yang tersaji, betapa kecilnya makhluk bernama manusia di atas bumi ini? Tetapi siapa peduli? Karena hampir sebagian besar yang ada di sunset point hari itu begitu sibuk memaksimalkan kemajuan jaman bernama kamera baik yang ada di ponsel maupun kamera lainnya untuk mengabadikan momen itu, dibandingkan merenung sejenak merasakan sentuhan lembut Sang Khalik melalui ciptaan-Nya yang bernama senja. Satu di antara yang tidak sibuk dengan gadget pada senja itu, adalah seorang perempuan dari negeri yang jauh yang juga belum saya tahu namanya hingga menjelang petang hari itu. Akan tetapi riuh cakap senja hari itu yang terjadi di sekitar saya yang sedang berusaha keras memahami senja hari itu, menuntun saya pada sebuah nama yang jika ditelinga saya menurut saya akan tertulis Julia. Akan tetapi rupanya saya salah karena penulisan yang benar adalah Giulia. Dan saya kemudian memberanikan diri menyapa perempuan pemberani (karena berkelana sendirian ini) hanya dengan kata-kata yang mungkin terkesan dingin, sedingin udara Mantar senja itu. Whats your name, dan Where are you come from? Hasil kemahiran bahasa Inggris saya saat itu adalah bahwa dia adalah perempuan berdarah Swiss dan Italia, keluyuran kerena sedang break dari rutinitas internship-nya di Bali. Intinya adalah bahwa dia adalah seorang mahasiswi yang pemberani dan menurut saya juga cukup gila karena doyan keluyuran sendirian kemana-mana. Katanya, dengan keluyuran sendiri selain bebas kita bisa belajar menjadi manusia seutuhnya terkait pilihan dan tanggung jawab dan juga dalam memahami kemungkinan resiko yang ada, dan pastinya perjalanan lebih akan lebih fokus karena tidak perlu ada dua nahkoda dalam sebuah perjalanan. Benar juga, batin saya!

Akan menghabiskan sepuluh hari sepuluh malam jika saya menuliskan semuanya keterhubungan saya dengannya setelah senja di Mantar hari itu hingga lima bulan kemudian. Akan tetapi pada awal-awal perkenalan saya sebenarnya tidak ada yang terlalu intens yang kami lakukan baik itu komunikasi maupun pertemuan, karena saya sendiri sibuk bekerja dan dia sibuk berpetualang di Pulau Sumbawa. Hal yang mungkin begitu membekas bagi saya adalah pada suatu pagi ketika dia bertolak meninggalkan sebuah rumah milik seorang kawan dari komunitas Adventurous Sumbawa di Sumbawa Besar, dimana banyak sekali rombongan petualang dan juga pejalan lainnya yang datang ke Pulau Sumbawa saat itu menumpang menginap, saya masih sempat mengucapkan be carefull meski yang saya ingat hari itu dia kurang meresponnya dengan baik karena jawabnya adalah what do you mean. Hehehe! Saya memahaminya kemudian dengan membenturkannya dalam konteks culture gap. Saya menganggap bahwa dengan mengucapkan be carefull, dalam kultur kita, kita berusaha untuk nice, tetapi dalam kultur dia yang begitu individualistik hal seperti ini termasuk aneh karena tidak pada tempatnya kita mengucapkannya kepada seseorang yang baru dikenal. Dan seterusnya dan seterusnya. Kiranya akan menghabiskan waktu satu purnama penuh untuk menuliskan tentang sosok perempuan bernama Giulia Bieri ini. Baiknya saya kembali ke niatan semula, menuliskan sumbangsihnya kepada jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia ini. Biarlah kisah-kisah lainnya baik itu suka maupun duka yang telah saya jalani dan kami tuliskan bersama tersimpan baik di sanubari saya hingga akhir nanti.

Sejak awal mula kehadiran Wild Water Indonesia mencoba mewarnai Bumi Pertiwi dengan komitmen kepedulian (baca: konservasi) perairan, seluruh relawan dan sahabat jaringan selalu menempuh cara-cara yang persuasif untuk menyebarkan pesan kegelisahan perairan kepada masyarakat luas. Cara-cara persuasif yang beragam sesuai dengan urgensi maupun kebutuhan masing-masing daerah dimana para relawan tersebut berada. Cara persuasif tersebut dilakukan dengan keteladanan perairan yang nyata yang artinya bahwa para relawan mensosialisasikan kampanye perairan ini dengan melakukannya, yang mana pada saat bersamaan para relawan sebenarnya sedang melakukan edukasi. Bukan sekedar kampanye perairan penuh busa kata di atas panggung layaknya kampanye dunia politik. Kampanye yang kami lakukan adalah kampanye dengan keteladanan. Ketika kami berteriak save ikan lokal misalnya, berarti kami juga melakukan tebar benih ikan lokal. Ketika kami berteriak stop illegal fishing, kami juga melakukan patroli keliling dan penyebaran banner larangan illegal fishing dimana-mana (jumahnya hingga hari ini sudah tidak terhitung banyaknya banner ini di seluruh negeri). Termasuk juga melakukan sosialisasi dalam berbagai bentuk lainnya di berbagai daerah. Ketika kami berteriak stop nyampah, di saat yang bersamaan kami juga menginspirasi publik dengan melakukan bersih sampah organik di sebuah lokasi yang membutuhkan kepedulian tersebut. Dan lain-lain sebagainya.

Selain itu para relawan kepedulian Wild Water Indonesia juga menyebarluaskan pesan kegelisahan perairan ini melalui berbagai media sosial yang ada. Harapannya tercipta atau tumbuhnya kesadaran publik yang lebih luas atas kondisi perairan yang ada di negeri ini, diharapkan kemudian publik akan mengikuti teladan kebaikan yang dilakukan para relawan dalam merawat perairan yang ada tersebut di daerahnya masing-masing. Seseorang yang melihat sungainya sekarat didera sampah non organik misalnya, kemudian tergerak melakukan langkah-langkah kecil untuk membuat perubahan positif di daerahnya. Masyarakat yang memiliki danau sekarat didera setrum dan racun ikan misalnya, tergerak untuk melakukan kampanye dengan caranya masing-masing untuk menanggulanginya. Dan seterusnya. Dalam perkembangannya, bentuk-bentuk konsern kepedulian perairan yang dilakukan para relawan demikian beragam dan di banyak tempat begitu tidak terduga dan mengharukan. Bahkan banyak region Wild Water Indonesia juga melakukan aksi-aksi sosial lainnya yang jujur saja ini tidak terduga sama sekali sebelumnya. Semuanya selalu di-update melalui media sosial baik itu Facebook dan Instagram, dua media sosial ini diyakini merupakan media yang ampuh dan sangat cepat dan mudah untuk menyebarluaskan pesan, dan memang terbukti dengan masifnya pertumbuhan jumlah relawan dan banyaknya kegiatan yang ada di seluruh negeri. Hingga berusia satu tahun dua bulan, jaringan kepedulian perairan Wild Water Indonesia tidak memiliki website yang secara de facto sebenarnya memiliki jangkauan yang lebih luas dan juga kuat karena karakteristiknya yang unik di era komunikasi nirkabel global ini.

Suatu hari di bulan Juni, di masa transisi saya meninggalkan kesombongan sebuah korporasi yang pernah saya bela mati-matian, seorang Giulia Bieri melontarkan tanya yang membuat saya gagap. Bagaimana kalian mengedukasi seluruh bangsa ini kalau hanya bermain di media sosial? Ratusan juta jumlah penduduk negeri ini, tetapi kamu (saya maksudnya) hanya berteriak-teriak ke lima ribu temanmu. Begitu juga relawan lainnya, hanya berteriak ke sekitarnya masing-masing. Bukan itu tidak tepat, hal demikian memang sangat perlu dan harus terus dilakukan karena di jaman ini manusia begitu memuja media sosial. Akan tetapi bagaimana dengan ratusan juta orang lain di luar sana, ini jika berbicara nasional saja misalnya. Benar juga, karena tidak dapat disangkal bahwa edukasi dan sosialisasi larangan illegal fishing dan juga stop nyampah ini sebenarnya hanya saya lakukan ibaratnya hanya di tingkat RT saja, memang kemudian begitu banyak RT lainnya karena ribuan relawan lain juga melakukan hal yang sama. Tetapi apakah ini sudah mampu menjangkau ratusan juta masyarakat Indonesia lainnya, karena sangat mungkin tidak sampai 5% dari manusia yang ada di negeri ini yang berhasil kami jangkau. Lha sisanya bagaimana? Diperlukan sebuah banner yang terus ON selama 24 jam x 7 yang terus menyuarakan kampanye jaringan ini, untuk memperluas penyebaran pesan, memberi keteladanan perairan kepada masyarakat yang bisa diakses kapanpun dan dari manapun. Bukan hanya menyebarkan pesan dan meng-update kegiatan melalui status di media sosial yang notabene akan tertumpuk oleh update lainnya dalam waktu yang sangat singkat!

Di bulan Juni yang sepi di Jakarta itulah saya juga kemudian memahami bahwa ternyata kartu pra bayar saya tidak laku untuk sekedar membeli domain dan hosting website untuk jaringan ini karena faktor geo block. Yang bisa juga diartikan bahwa kartu pra bayar kita tidak laku di dunia internasional untuk melakukan transaksi. Makna berikutnya adalah memang kartu saya yang tidak pernah ada isinya! Haha! Seorang Giulia Bieri (selanjutnya GB) langsung memberikan solusi dengan menggesek kartu miliknya dan berhasilah kemudian transaksi membeli domain dan hosting itu. Jaringan relawan kepedulian Wild Water Indonesia telah mengganti semua biaya yang dia keluarkan ini dengan melakukan saweran, cara kuno penggalangan dana yang hingga hari ini masih ada di negeri kita. Istilah kerennya fund raising, tetapi kali ini hanya kami lakukan secara internal saja di dalam jaringan relawan. Dari mulai lima ribu rupiah, sepuluh ribu, ratusan ribu rupiah dan seterusnya hingga terkumpul jutaan. Inilah salah satu hal yang selalu membanggakan saya setiap kali merenungkan kembali jaringan kepedulian perairan ini, kebersamaan di jaringan ini begitu kuat begitu juga kesetaraannya! Sejak malam hari ketika Jakarta menjelma menjadi kota mati karena ditinggalkan penghuninya untuk mudik itulah kesibukan baru bernama mendesain sebuah website bermula hingga hampir dua bulan kemudian. Suka dan duka, tawa dan adu urat, dan lain sebagainya kami lalui bersama. Demi mewujudkan sebuah website yang kedepannya bisa memperluas dan memperkuat penyebaran pesan kegelisahan perairan Indonesia. Jujur, kami memang tidak berniat untuk membayar web designer profesional di luar sana. Bisa jadi karena memang sebenarnya tidak mampu, akan tetapi memang biarlah semangat untuk tidak tunduk pada keterbatasan yang terus kami jalani. Seorang GB yang hanya memiliki pengetahuan pas-pasan dalam membangun website tidak mau mundur sedikitpun untuk membantu terwujudnya impian. Menurutnya, penghalang kemajuan seorang manusia adalah tembok yang dia bangun sendiri. Jadi keterbatasan tidak semestinya menjadi alasan untuk tidak melakukan atau berbuat sesuatu, justru keterbatasan harus dijadikan pijakan untuk berbenah dan berbuat yang lebih baik. Karena sebuah tembok yang dibangun oleh manusia itu sendiri, berarti juga bisa diruntuhkan, tergantung tekadnya. Termasuk dalam urusan membangun sebuah website ini. Dengan dibantu seorang relawan lainnya di Jakarta bernama Imanuel Kristanto, kami bertiga kemudian bahu membahu mewujudkan tekad. Saya lebih fokus pada penyediaan konten baik itu konten untuk desain (text dan visual), dan juga konten text untuk mengisi semua halaman (page) dan juga artikel-artikel. Tidak semudah bayangan saya sebelumnya rupanya, karena urusan website ini ternyata luar biasa kompleks! Beruntunglah GB adalah seorang wanita yang tangguh, seperti Srikandi dalam epic Mahabarata. Hari terus berganti, kadang dia melakukannya sampai tidak mengenal waktu lagi. Meski perlahan namun pasti website wildwaterindonesia.org akhirnya sampai pada ujungnya untuk disajikan kepada publik! Paling utama tentunya untuk diserahkan kepada seluruh jaringan agar digunakan menyebarkan pesan kegelisahan perairan Indonesia berupa larangan illegal fishing dan stop nyampah, semuanya adalah konsern utama jaringan Wild Water Indonesia.

Sejak awal mula kami telah bersepakat, dan hal ini juga telah saya floor-kan ke seluruh jaringan Wild Water Indonesia bahwa website wildwaterindonesia.org akan online pada tanggal 17 Agustus 2017. Jadi sejak awal hal ini telah saya komunikasikan ke seluruh region di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari WWI Aceh, WWI Yogyakarta, WWI Nganjuk, WWI Wonogiri, Malang, Tulungagung, Kediri, WWI Kalampangan (Kalimantan Tengah), WWI Sumenep, WWI Sumbawa dan lain sebagainya hingga WWI Kalimantan Timur. Kenapa harus tanggal 17 Agustus? Pertama adalah sekaligus untuk memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-72. Bukan dalam arti memperingati dalam nuansa kegembiraan tetapi untuk merenungkan kondisi perairan Indonesia saat ini yang mana masih begitu marak adanya kegiatan illegal fishing dan juga budaya nyampah yang luar biasa parahnya. Sungai, danau dan bahkan selokan masih banyak disetrum dan diracun ikannya, belum termasuk semakin banyaknya pencemaran yang terjadi. Reef-reef di laut banyak didera kegiatan penangkapan ikan dengan bom ikan. Lautan lepas banyak didera oleh aktifitas over fishing. Dan tidak lupa semakin melimpahnya sampah non organik baik itu di perairan umum dan laut. Sudah banyak yang mengetahuinya bahwa laut kita adalah tempat sampah yang maha luas. Banyak yang mengetahui bahwa perairan umum kita selain semakin banyak poluttan juga semakin berkurang populasi ikannya. Di sisi lain, penegakan hukum terkait kegiatan-kegiatan atas masih demikian sporadis dilakukan di berbagai daerah. Padahal secara undang-undang sudah cukup jelas diatus dalam UU No. 31/2004 pasal 84 ayat 1 jo UU no, 45/2009 pasal 85 Tentang Perikanan. Hukumannya pun juga sudah sangat jelas, penjara 5 tahun dan atau denda paling banyak 2 milyar! Artinya jika kita melihat kenyataan yang terjadi saat ini di Indonesia adalah, kita belum merdeka dari illegal fishing dan juga budaya nyampah sembarangan. Tanggal 17 Agustus 2017 juga bertepatan dengan kampanye serentak seluruh region Wild Water Indonesia yang bertajuk Merdeka Dari Setrum Racun Bom Ikan dan Sampah yang diperkaya dengan gerakan Seribu Banner Sejuta Harapan. Dalam kampanye serentak ini seluruh relawan melakukan pemasangan banner larangan illegal fishing di daerahnya masing-masing serta melakukan penebaran benih ikan lokal (native fish). Sesuai dengan jadwal, usai berdoa sebentar diterangi sebatang lilin di sudut sunyi daerah Renon, Denpasar, saya dan GB kemudian meng-online-kan website wildwaterindonesia.org. Momen yang sangat emosional bagi saya, Giulia Bieri, dan Imanuel Kristanto mengingat suka duka bersama mewujudkan website ini di tengah jibaku lain mencari penghidupan. Hingga detik ini, dan setidaknya sampai tiga tahun kemudian, website ini akan terus menjadi media kampanye seluruh jaringan Wild Water Indonesia. Banyak relawan telah menuliskan kegiatannya meramaikan lapak milik bersama ini. Memang tidak mudah merubah kultur, orang Indonesia lebih senang berbicara dibandingkan menulis, tetapi perlahan banyak relawan mengirimkan tulisan kegiatan dan ini merupakan angin segar perubahan kultur komunikasi kampanye di dalam jaringan secara signifikan. Yang awalnya ibaratnya pokoke asal nulis di media sosial, kini perlahan mulai menulis secara serius agar dapat dibaca oleh semua kalangan. Semangat mendidik bangsa agar menyadari dan mengambil tindakan positif atas kondisi perairan yang ada kini setidaknya memiliki kanal menyebarkan konsern secara lebih luas dan bertenaga! Semuanya semata demi masa depan perairan Indonesia yang lebih baik. Untuk kita semua yang hidup di masa kini dan juga nanti (baca: generasi penerus).

Tanggal 8 September pukul 21.00 waktu Bali ketika saya mulai menuliskan catatan tentangnya, Giulia Bieri telah sedang dalam penerbangan panjang dan jauh sejak pukul 17.25 dari Bali menuju Singapura, kemudian akan dilanjutkan menuju Doha dan akan berakhir di Berlin (Jerman) pada tanggal 9 September. Barulah dua hari kemudian penerbangan pulang kampungnya akan berlanjut menuju ke Zurich (Swiss) dan akan berakhir di rumahnya di Bern melalui perjalanan darat. Mungkin apa yang saya tuliskan ini terlalu berlebihan dan tentunya sangat subyektif, saya yakin dapat dimaklumi oleh para relawan semuanya di jaringan kepedulian perairan Indonesia ini. Akan tetapi mengingat betapa besarnya sumbangan pikiran tenaga dan terkadang juga material untuk mewujudkan sebuah situs bernama wildwaterindonesia.org sejak dari situs ini masihlah sebuah angan, tidak berlebihan kiranya kita selalu memberi tempat yang pantas untuk mencoba mengabadikan jejak-jejak kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang yang peduli dengan penyebaran pesan kegelisahan perairan di Indoneisia ini. Kehadirannya tidak pernah saya duga sebelumnya ketika mulai merintis jaringan ini hampir 1,5 tahun yang lalu. Kehadirannya ibarat noktah kecil di antara geliat ribuan relawan Wild Water Indonesia yang kini tersebar di seluruh penjuru negeri, kurang terlihat saking sesaknya update kegiatan dari para relawan. Catatan kecil ini, semoga pantas menjadi sebuah ucapan terimakasih tak terhingga saya (dan juga dari kami seluruh relawan Wild Water Indonesia) untuk semua usaha tanpa pamrih yang dia lakukan selama ini. Grazie mille Gilulia il mio amore! (Michael Risdianto)

* Picture captured at Berlin, Germany. Please don't use or reproduce (especially for commercial purposes) without my/our permission. Don't make money with my/our pictures without respect!!!

Comments